Menunggu itu ?
Ilustrasi gambar: Google.com
Sama seperti kebanyakan dari mereka
yang lain, dalam memberi arti untuk “menunggu”
adalah bosan. Ya pasti ada perasaan semacam itu. Entah mengapa, Nita memutuskan
untuk keluar dari zona kebanyakan. Entah juga karena Nita adalah orang yang gak
mau biasa-biasa atau memang sudah “Yakin,
ikhlas, tawakal, sabar”, ya begitulah istilahnya. Sadari atau tidak,
kemudian waktu yang akan memberikan jawabannya, apakah menunggu itu bosan ?
atau ?
**
“Hay...”
Sapa Danu ketika berjumpa dengan Nita pagi itu di depan kelas. Senyum hangat
menjadi awal perjumpaan mereka pagi itu. Berjalan berdua menuju tempat duduk
meski tak bersebelahan, ah hal biasa.
Danu adalah remaja yang “sok cuek”, mungkin hanya beberapa orang
saja yang memang dekat dengannya yang kemudian bisa bersapa akrab. Sama sepertihalnya
Nita, awalnya tak sedekat sekarang. Nita adalah gadis yang diam-diam menyimpan
rasa terhadap Danu. Alasannya bagi Nita adalah soal yakin. Yakin ?
Selepas waktu sekolah usai, Nita
langsung pulang kerumah, dan ini bukan kebiasaannya yang setiap hari sibuk
mengurusi organisasinya. Sore itu sesampainya dirumah, terfikirkan olehnya
untuk memberitahu Danu tentang apa yang dia rasakan selama ini. Merasa ragu,
tapi akhirnya dikatakan juga. Anehnya, dia kemudian mengambil sebuah kertas
origami warnanya dan menuliskan sesuatu. Seperti ini isinya:
Dear
You,
Kamu
yang selama ini bertanya soal “siapa”, sekarang izinkan aku untuk menjawab “kamu”.
Kamu yang selama ini hanya “menduga”, sekarang izinkan aku menegaskan “iya”. Sekarang
kamu sudah tahu, maka cukuplah diam. Dan biarkan aku dapati dirimu sama seperti
saat aku menyimpanya untukku sendiri. Maaf :)
Begitu
Nita menuliskannya untuk Danu, kata-kata yang dia tulis berdasar atas
pertanyaan-pertanyaan yang Danu lontarkan selama ini persoal “siapa” yang Nita suka. Dan juga berdasar
dugaan-dugaan Danu yang terkadang memojokan Nita untuk segera berkata jujur. Ya
bagaimana tidak, Danu sering merasa kalau yang Nita sukai adalah dia. Padalah
memang benar, hanya saja Nita masih diam. Tulisan itu difotonya dan kemudian
dikirimkan pada Danu. Banyak timbul pertanyaan setelah Danu menerimanya. Nita
pun telah menduga demikian.
“Nu, besok kamu sibuk gak ?” tanya Nita.
Cukup lama menunggu dan ada jawaban juga. “Gak
Ta, gimana ? mau ngajak main ?” tukas Danu. Berlanjut dengan percakapan
panjang lebar hingga berujung pada keputusan untuk pergi bersama keesokan
harinya. Dan Nita sudha tidak sabar lagi untuk esok.
“Bip Bip...” dering ponsel milik Nita
memberi tahu ada pesan masuk, dan pesan itu dari Danu. “Jadi pergi ?” Danu mencoba memastika pada Nita. “Jadi, wait!” singkat Nita. Akhirnya
hari itu mereka pergi berdua dan pantai adalah tujuan mereka. Sepanjang
perjalanan hanya diam yang kebanyakan menang. Bagaimana tidak, Nita sendiri
orang yang tidak mau banyak bicara saat ada diperjalanan, apalagi saat
mengendarai sepeda motor. Pengalaman pahit pernah dialaminya beberapa waktu
lalu karena asik ngobrol dengan temannya saat mengendarai sepeda motor. Jadi Nita
lebih memilih diam. Tapi berbeda dengan Danu yang berharap ada berisik Nita
yang “ngoceh” disepanjang perjalanan
mereka. “Ta, diem aja sih? Boncengin kamu
Cuma kerasa beratnya aja tau, kayak boncengin patung, ngomong lah, cerita lah!”
ucap Danu kesal.
Sesampainya
di pantai, mereka mencari tempat duduk yang menurut mereka cocok untuk ngobrol
sambil menikmati pemandangan pantai yang indah. Hari itu cuaca tak secerah
biasanya, sedikit mendung. “Sini Ta tasmu
taruh sini, sana kalau mau main air” perintah Danu pada Nita. Dan karena
memang merindukan saat-saat main dipantai, langsung saja Nita menuruti Danu. “Oke Nu, nitip tas ya” jawab Nita sambil
berlari menuju bibir pantai.
Asik
bermain dengan air dan ombak membuat Nita sedikit lupa bahwa ada yang ingin dia
katakan pada Danu. Tak lama Nita menepi dan menghampiri Danu. Nita kemudian
menceritakan apa yang dia rasakan selama ini, soal rasanya, soal perasaannya
terhadap Danu. Termasuk orang yang berani memang, ketika seorang wanita
mengatakan pada pria bahwa ada “cinta”
untuknya. Ah, tapi ini bukan persoal tabu. Tidak ada yang salah bagi Nita,
baginya ketika dia tidak mau berusaha dan menyerah begitu sajalah yang salah.
Tidak ada yang salah pula dari sebuah kejujuran. Jujur itu mahal kan?
Nah,
ketika disela-sela perbincangan serius tapi santai mereka itu, tiba-tiba
terselip tanya dari Danu “Maaf aku bukan
bermaksud untuk memberi harapan palsu sama kamu, aku memilih untuk tidak
menjawab “iya” atau “tidak” kamu sudah paham kenapa kan Ta ? Ta, kamu gak
nunggu aku kan?” ucap Danu. Kemudian Nita menjawab “Gak papa Nu, aku gak nunggu kamu. Aku nunggunya Allah kasih kamu buat
aku. Soal besok mau seperti apa siapa yang tahu?” Nita mencoba menguatkan
dirinya sendiri sembari meyakinkan Danu bahwa dia memang tidak menunggunya.
Benar saja, Nita memang tidak berharap dengan Danu, dia pun tidak menunggu Danu.
Dia percaya bahwa soal “jodoh” sudah
ada yang mengatur, dan untuk soal “menunggu” Nita mencoba berserah saja,
tapi bukan pasrah dan tetap usaha tentunya.
Hari
semakin sore, dan awan pun semakin mendung. Mereka berdua memutuskan untuk
pulang segera. Ya dan benar saja, belum lama mereka beranjak dari pantai hujan
mulai turun. Alhasil mereka kehujanan dan basah kuyup. Di sepanjang perjalanan
pulang, hujan masih menjadi teman setia mereka. Meski saat pulang, Nita mencoba
untuk berisik selama diperjalanan, karena tidak ingin Danu “ngomel-ngomel” lagi, dan mereka asik
berbincang dengan obrolannya.
Di balik
diam kita, hujan memang yang saat ini lebih banyak bicara. Dia menurunkan air
yang kemudian membasahi kita. Hujan itu lebih banyak berkata dari pada lisan
kita. Hujan terima kasih, kau yang membuat apa-apa yang belum saatnya dikata
tetap ada dalam hati.
Ujung
dari pertanyaan Danu soal menunggu itu adalah Nita yang terkadang terlihat
sebagai orang yang enggan untuk berjalan sendiri dimata Danu, Nita menjadi
orang yang dirasa menunggu sesuatu yang tidak penting. Tapi itu bagi Danu.
Menurut Nita, menunggu bukan soal penting atau tidak penting. Bukan hanya itu,
tapi menunggu adalah soal yakin, lagi-lagi soal yakin. Dan apa-apa yang terjadi
pasti beralasan. Menunggunya Nita pun ada alasannya. Sedang bagi Nita, ketika Danu
berkata demikian itulah penilaian terhadapnya, dan ketika Nita tidak mengatakan
alasannya itu maka yang Nita pikirkan adalah
“Tidak berkata apa-apa bukan berarti diam, terkadang
apa-apa yang terucap dalam hati saja,
dirasa cukup daripada harus semua telinga mendengar. Dalam diamnya lidah, ada
gerak hati yang tak terlihat.”
Dan
menunggu bagi Nita sekali lagi bukan soal penting atau tidak penting, tapi soal
yakin, yakin akan apa yang dia lakukan. Karena bahagia itu juga soal keyakinan.
Jadi
masihkah berfikir bahwa menunggu itu bosan ?
_____ ithadiy
______
Komentar
Posting Komentar