Jangan Sia-siakan Doa Itu

November, mungkin di bulan yang sama setahun lalu, aku ingat pernah memaksamu untuk berkata tentang semua yang menjadi rahasia, katamu, rahasia itu aku. Maka sejak saat itu, Mas, kita jadi sepasang kekasih yang terus belajar jatuh cinta melalui perjalanan hidup kita. Pernah ada yang bilang, Mas. Seseorang butuh belajar untuk bisa menemukan pengetahuan. Seseorang perlu yang namanya perjalanan untuk dapat tahu ke mana jalan pulang. Aku menemukan diriku dalam hari-hari bersamamu. Aku berusaha menunjukkan siapa diriku dalam hari-hariku bersamamu.

Mas, di kejauhan ini aku mencintai seluruh dari dirimu, ternyata. Dari semua kelebihan dan kekuranganmu. Saat kamu dekat, aku menjadi lebih kuat. Dan saat kamu jauh, kamu menjadi lirik-lirik yang terus menyusun nyanyian rindu dalam diriku. Saat kamu di sampingku, aku melangkah tegap menuju bahagia. Saat kamu tak di sampingku, aku mencoba berlari sekuat tenaga menemukan jalan terdekat untuk kembali menatap wajahmu. Mas, apa ini berlebihan? Mungkin kata mereka ada benarnya juga, cinta kadang berlebihan dan melebih-lebihkan sesuatu yang sebenarnya biasa.

Semua ada masanya, ada waktunya. Seperti saat ini, ada masa kita mesti berjalan sendiri-sendiri di tempat yang berjauhan. Dan suatu saat nanti, ada masanya kita dekat kembali. Ternyata, Mas. Rasa kehilangan itu salah satu pengalaman ajaib yang mampu membuatku lebih mengerti tentang rasa memiliki, rasa sepi yang selalu mampu menembus benteng air mata saat waktu bergulir cepat tanpa mampu dihentikan, saat jarak yang ada juga tidak mudah untuk kita singkat.

Mas, mengapa Tuhan memberikan kita kemampuan untuk merasakan rindu?. Rindu mungkin semacam racun yang kita buat sendiri, aku menciptanya dari kesendirian yang sunyi, dari tempat yang jauh, dari hilang kesempatan untuk melihat senyummu, dari pelukanmu yang lepas, dari ruang kosong di antara jemari, dari pesan yang terlambat masuk ke ponsel, dari obrolan telfon yang tergesa-gesa, dan dari kesemuanya yang membuat hati nelangsa.

Mas, hari ini tiba-tiba aku ingin mengenang kembali momen indah kita. Momen yang membuatku jadi tahu, ternyata rahasiamu itu aku; malam yang kita lewati bersama dengan makan di pinggir jalan, duduk di bawah pohon beringin kembar alun-alun Selatan, menyusuri ruang antara rak-rak buku di gramedia atau togamas, menemanimu bermain futsal, dan meminjam ponselmu lantas membuka galeri foto, atau duduk berdua di gazebo hutan pinus.

Mas. Bagiku, kamu bukan laki-laki biasa. Setiap kali aku mengingat senyummu atau lengkung alis matamu, atau apapun tentangmu,  aku selalu bisa merasakan ketenangan. Dan di dekatmu, rasa tenang itu membuatku leluasa berbicara apa saja.

Dalam jauhnya jarak ini, kapan lagi kita akan menikmati kencan? Meski kencan kita adalah pertemuan-pertemuan biasa: toko buku, nonton film, nonton anime, mendengarkan lagu, jajan es kelapa muda, membersihkan kamar kosmu, makan malam di pinggir jalan. Tapi aku suka, selalu.

Rindu itu bisa muncul, pertama karena kita pernah mengalami sesuatu dan kita ingin kembali merasakan, atau yang kedua karena kita belum pernah mengalami dan ingin merasakan, tapi hanya bisa mengalah, menunggu dengan lugu. Kamu memilih yang mana mas soal ini?. Rindu itu memang racun. Racun yang kita buat sendiri, yang kemudian kita nikmati sendiri hingga mata ini berair dan hati menjadi sesak. Kalau kamu tidak demikian, berarti hanya bekerja padaku teori semacam itu.

Dan dari sekian banyak pasangan kekasih zaman sekarang, bisa jadi kita pasangan yang paling asing, biar ku sebut begitu, untuk tidak mengatakan kita pasangan aneh. Apa kamu paham soal ini Mas?. Kadang aku marah, aku ingin seperti pasangan lain yang mendapatkan perhatian, mendapat ungkapan kerinduan, mendapat ungkapan cinta, mendapat kata atau tindakan romantis, mendapat waktu berlibur bersama ke pantai, misalnya. Tapi, mulai dari hari itu. Saat aku mendapat bocoran soal kamu dari dia yang sudah lebih dulu mengenalmu. Aku sadar: "yang penting bukan itu semua, apa artinya kita berdua, bermesraan, mengumbar kata cinta, romantisme kerinduan, menghabiskan waktu untuk pergi kemana-mana, tapi tidak pernah saling mendoakan?".

Sabar. Aku mencoba lebih bersabar. Bukankah kamu juga begitu Mas?. Sekarang kita sedang belajar, bagaimana mengakrabi makna cinta dari dua tempat yang berbeda. Seraya terus melangitkan doa-doa, dan di waktu selepas sembahyang, aku akan mendoakanmu dan kamu mendoakanku. Seperti biasa. Hingga keluar kata-kata sederhana dalam hati kita: Aku cinta kamu. Seperti biasa. Tanpa banyak orang lain tahu. Perhatian-perhatian dalam keterdiaman, serta rindu-rindu yang tak selalu berekspresi. Itulah kamu. Dan inilah kita sebagai pasangan kekasih, lain daripada yang lain. Aku selalu bermimpi, menuliskan setiap kisah kita, dan membiarkan dengan penuh perasaan bangga anak-anak kita, cucu-cucu kita, dan mereka semua di luar sana membacanya. Aku selalu menikmati setiap perbincangan yang kita punya. Entah itu penting atau tidak. Dan aku menikmati perjalanan kisah cinta kita.

Satu hal yang aku sesali, aku selalu meninggalkanmu. Seperti kali ini. Bukankah seharusnya aku di sampingmu?. Harusnya aku bersamamu, menemanimu mengerjakan tugasmu, atau menemanimu menghabiskan waktu menonton anime dan bermain game favoritmu, sambil sesekali kamu mendengarkan ocehanku tentang apapun. Tapi nyatanya tidak. Atau memang belum saatnya saja. Waktu memang selalu tidak pernah memberi kepastian, saat aku berada di dekatmu, satu jam serasa satu menit. Dan saat ini, kita yang berjauhan, sehari saja rasanya sebulan. Lama, dan jarum jam itu berputar begitu lambat.

Maafkan jika aku harus kembali pergi. Sama dengan mimpi menuliskan kisah kita, ini juga satu mimpiku yang lain. Maafkan karena aku harus menjadi teman separuh waktu yang tidak bisa selalu membersamaimu. Maafkan jika kisah kita "terpaksa" berlanjut pada teks-teks pesan yang masuk dalam ponsel, atau suara-suara yang terdengar dari kejauhan. Tunggu sampai aku kembali, dan kamu menjadi sebenar-benarnya rumah tempat aku pulang.

Mas, jangan pernah lupa untuk selalu memberi kabar. Ingatlah aku selalu mendoakan kebahagiaanmu. Dan, jangan pernah sia-siakan doa itu.

Aku mencintaimu,
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu. (Sapardi Djoko Darmono)

Komentar

Postingan Populer