Ayahku Tidak Menginginkan Aku

“Bu, apa yang salah dari seorang anak yang lahir dari seorang ibu tapi tidak diinginkan oleh ayahnya?”
Deg, serasa jantung mau copot denger salah satu murid bertanya begitu. Kemarin, kelas IX pelajaran Agama. Sudah jadi kebiasaan di sini setiap pelajaran Agama pasti ada saja guru yang tidak masuk untuk mengajar, terutama pelajaran Agama Islam. Jadi jangan heran jika murid-murid di sini memang belum semuanya bisa mengaji dan belum semuanya tahu bagaimana doa dan bacaan shalat. Bukan bermaksud mendiskreditkan oknum guru Agama tersebut, tapi itulah kenyataannya: datang hanya datang, bukan ke kelas tapi duduk di kantin, bukan memberi penjelasan materi, tapi meminta anak mencatat dan dibiarkan tanpa dijelaskan, bukan mengisi dengan ngaji, meninggalkan tugas untuk menulis surat Al Quran tanpa mereka diminta membawa Al Quran pun sudah menjadi hal wajar. Lalu bukannya siswa menulis tugasnya, malah bertaburan kesana-kemari dan gaduh.

Daripada mereka keluar-masuk kelas dan ribut, aku masuk ke kelas mereka, alih-alih mengisi pelajaran malah meminta mereka curhat. Ya, curhat. Apa saja, terserah mereka ku bilang. Lama bercerita, berbagi pengalaman, saling tukar pendapat, sampai akhirnya muncul pertanyaan dari salah satu murid yang saat itu duduk di bangku paling depan pojok kiri. “Bu, apa yang salah dari seorang anak yang lahir dari seorang ibu tapi tidak diinginkan oleh ayahnya”, katanya demikian. Ini pertanyaan serius anggapku. Awalnya ku kira, ini pertanyaan umum karena sebelumnya memang sedang membahas tentang bakti anak kepada orang tua. Tapi pada kenyataannya, ini adalah cerita pribadi muridku. Pertanyaan itu tentang dia. Orang tua itu adalah orang tuanya, ayahnya tidak menginginkannya, bahkan sampai sekarang diusianya yang sudah belasan tahun. Karena faktor ekonomi katanya. Lagi-lagi, soal ekonomi. Kalau ini sih jadi ingat cerita diri sendiri, ehh.

Lidahku kelu, sama sekali tidak mampu mengeluarkan kata apapun. Lalu satu pesan panjang yang aku sampaikan untuknya, “Nak, menjadi anak yang diinginkan atau tidak oleh ibu ayahmu kamu tidak pernah memilih itu. Dilahirkan dari rahim siapa, kamu juga tidak pernah memilih itu. Semua sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa. Dan meski begitu, ayahmu tetap ayahmu, baktimu padanya tidak boleh berhenti. Kamu tetap tanggung jawabnya, terkecuali nanti ketika kamu sudah menikah, karena kamu anak perempuan maka tanggung jawab ayahmu berpindah ke suamimu kelak”. Aku melihatnya diam penuh perhatian padaku, pelan tapi pasti aku mulai melihat matanya berkaca-kaca.

“Bu, apa saya boleh benci dengannya?”, wajahnya mulai tertunduk lesu. “Nak, benci itu pasti ada, semua manusiawi. Tapi ingat itu ayahmu. Jangan biarkan bencimu mengalahkan semuanya. Kamu mau kan menjadi anak yang sholeha, yang berbakti pada ibu-bapaknya?”, tanyaku diujung pesanku padanya. Jawabnya, “Iya bu, saya mau dan ingin jadi anak yang berbakti”. Siapa saja, aku kira akan sama dengannya. Benci, marah, kecewa, dan semua perasaan-perasaan lain yang kalau dituruti hanya akan menjadi penyakit. Macam penyakit hati. 

Selepas pelajaran Agama, dia berkata padaku. “Bu, boleh saya bercerita pada ibu. Tapi lewat surat, saya tuliskan di kertas”. “Oh tentu, dengan senang hati. Ibu tunggu tulisanmu ya!”. Dan sampai hari ini aku menuliskan ini, aku masih menunggu. Menunggu tulisan yang pernah dia janjikan itu. Tulisan berisi cerita hidup, seorang anak yang tidak diinginkan oleh ayahnya.

@ithadiy , 2017
 
#ithasjourney
#ithaforsm3t
#ceritaanak3tindonesia
#seutasasa

Komentar

Postingan Populer